Beranda | Artikel
Prinsip-Prinsip Memahami Halal Haram dalam Transaksi Muamalah (Bag. 7)
Minggu, 22 Juni 2025

Prinsip keenam: Menerapkan kaidah as-saddu adz-dzari’ah dalam akad muamalah

Definisi kaidah as-saddu adz-dzara’i atau as-saddu adz-dzari’ah secara bahasa dan istilah

Secara bahasa, as-saddu (السَّدّ) adalah,

إغلاق الخلل، وردم الثلم، ومنع الشيئ

“Menutup celah, menambal keretakan, dan mencegah sesuatu.” [1]

Sedangkan makna adz-dzari’at (الّذريعة) secara bahasa adalah al-wasilah, yaitu sarana (perantara). [2] Bentuk jamaknya adalah (الذّرائِع) (adz-dzara’i).

Adapun secara istilah, para ulama memiliki ungkapan yang berbeda-beda -namun saling berdekatan- ketika mendefinisikan adz-dzari’ah. Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata,

كلُّ عملٍ ظاهرِ الجوازِ، يُتوصَّلُ بِهِ إلى محظورٍ

“Semua amal (perbuatan) yang secara lahir tampaknya diperbolehkan, namun mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang.” [3]

Ibnu An-Najar rahimahullah berkata,

هي ما ظاهرُهُ مباحٌ، يُتوصَّلُ بهِ إلى محرمٍ

“Semua perbuatan yang secara lahir tampaknya mubah (boleh), namun mengantarkan kepada perkara haram.” [4]

Asy-Syaukani rahimahullah berkata,

هي المسألةُ التي ظاهرُها الإباحةُ، ويُتوصَّلُ بها إلى فعلِ محظورٍ

“Semua perkara yang secara lahir tampaknya diperbolehkan, namun mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang.” [5]

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa makna as-saddu adz-dzari’ah secara istilah fikih adalah,

هوَ منعُ الوسائلِ التي ظاهرُها الإباحةُ، والتي يُتوصَّلُ بها إلى محرَّمٍ، حسمًا لمادَّةِ الفسادِ ودفعًا لها

“Yaitu mencegah segala sarana yang secara lahir tampak mubah (boleh), namun dapat dijadikan jalan untuk mencapai sesuatu yang haram, sebagai bentuk pemutusan terhadap sumber kerusakan dan upaya untuk menolaknya.” [6]

Rincian pokok perselisihan para ulama tentang kaidah as-saddu adz-dzari’ah

Jika melihat ada tidaknya perselisihan pendapat di antara para ulama terkait dzari’ah yang wajib dicegah, dzari’ah terbagi menjadi tiga macam:

Pertama: dzari’ah yang wajib untuk dicegah atau dilarang berdasarkan ijmak kaum muslimin, yaitu perkara-perkara yang mengantarkan kepada kerusakan, jika kerusakan tersebut adalah kerusakan yang diharamkan. [7] Hal ini karena sarana atau perantara tersebut benar-benar (100%) mengantarkan kepada kerusakan yang dimaksud, tidak ada kemungkinan yang lainnya.

Contohnya adalah haramnya minum minuman yang memabukkan (khamr), karena hal itu adalah perantara untuk mabuk; haramnya zina karena perbuatan itu adalah perantara terjadinya pencampuran nasab dan rusaknya rumah tangga; demikian juga mencela sesembahan orang kafir, jika diketahui dengan pasti bahwa hal itu bisa sebagai pemicu orang-orang kafir tersebut mencela Allah Ta’ala. [8]

Kedua: para ulama bersepakat bahwa perkara tersebut adalah perantara, namun tidak wajib untuk dilarang (dicegah). Contohnya, menanam anggur, padahal bisa jadi dijadikan khamr; atau bertetangga (berdekatan rumah), padahal ada kekhawatiran bisa menimbulkan terjadinya zina. [9]

Ketiga: dzari’ah yang terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama, apakah wajib dilarang atukah tidak. Yaitu dzari’ah (perbuatan mubah) yang kemungkinan besar akan mengantarkan kepada perbuatan yang haram. [10] Dalam masalah ini, terdapat dua pendapat ulama:

Pendapat pertama: perlu mempertimbangkan kaidah as-saddu adz-dzari’ah, sehingga perbuatan tersebut wajib dicegah. Ini adalah pendapat mazhab Malikiyah [11] dan juga Hanabilah. [12]

Pendapat kedua: tidak perlu mempertimbangkan kaidah as-saddu adz-dzari’ah, sehingga kaidah tersebut tidak perlu diterapkan. Ini adalah pendapat mazhab Hanafiyah [13], Asy-Syafi’iyyah [14], dan juga pendapat Ibnu Hazm dari mazhab Zahiriyah. [15]

Para ulama memiliki dalil dan argumen untuk menguatkan pendapat masing-masing, sampai-sampai Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan di kitab I’laamul Muwaqi’in sebanyak 99 sisi untuk menguatkan pendapat yang pertama, yaitu kaidah ini wajib dipertimbangkan. Kemudian beliau rahimahullah berkata,

وَبَابُ سَدِّ الذَّرَائِعِ أَحَدُ أَرْبَاعِ التَّكْلِيفِ؛ فَإِنَّهُ أَمْرٌ وَنَهْيٌ، وَالْأَمْرُ نَوْعَانِ؛ أَحَدُهُمَا: مَقْصُودٌ لِنَفْسِهِ، وَالثَّانِي: وَسِيلَةٌ إلَى الْمَقْصُودِ، وَالنَّهْيُ نَوْعَانِ؛ أَحَدُهُمَا: مَا يَكُون الْمَنْهِيُّ عَنْهُ مَفْسَدَةً فِي نَفْسِهِ، وَالثَّانِي: مَا يَكُونُ وَسِيلَةً إلَى الْمَفْسَدَةِ؛ فَصَارَ سَدُّ الذَّرَائِعِ الْمُفْضِيَةِ إلَى الْحَرَامِ أَحَدَ أَرْبَاعِ الدِّينِ

“Bab as-saddu adz-dzari’ah (menutup celah/sarana menuju keharaman) merupakan salah satu dari empat bagian taklif (beban syariat), karena taklif terdiri dari perintah dan larangan. Perintah ada dua jenis: pertama, yang diperintahkan karena ia merupakan tujuan itu sendiri; dan kedua, yang diperintahkan karena ia merupakan sarana menuju tujuan. Larangan pun ada dua jenis: pertama, sesuatu yang dilarang karena mengandung kerusakan pada dirinya sendiri; dan kedua, sesuatu yang dilarang karena ia merupakan sarana menuju kerusakan. Maka, as-saddu adz-dzari‘ah menjadi salah satu dari empat bagian utama agama.” [16]

Selain itu, jika kita melihat pada realita dalam tataran praktek, para ulama yang berpendapat dengan pendapat kedua, ternyata mereka menerapkan kaidah ini dalam ijtihad mereka terhadap sebagian perkara. Akan tetapi, mereka menerapkan kaidah ini di bawah kaidah pokok yang lain. [17] Yang membedakannya dengan mazhab Malikiyah -pada tingkatan pertama- dan Hanabilah -pada tingkatan kedua- adalah mereka menerapkan kaidah as-saddu adz-dzari’ah sebagai kaidah pokok yang berdiri sendiri dan lebih banyak menerapkan kaidah tersebut dari ulama mazhab lainnya. [18]

Rambu-rambu dalam menerapkan kaidah as-saddu adz-dzari’ah

Kaidah as-saddu adz-dzari’ah adalah di antara kaidah syar’i yang agung. [19] Para ulama telah memberikan rambu-rambu (aturan) untuk menerapkan kaidah tersebut dengan tepat:

Pertama: sarana yang asalnya diperbolehkan tersebut kemungkinan besar akan mengantarkan kepada kerusakan. Adapun apabila kemungkinannya kecil atau minimal, maka dzari’ah tersebut tidak dilarang, namun hukumnya kembali kepada hukum asal, yaitu mubah (boleh). Tidak perlu lagi menanyakan apa dalil kebolehannya, karena telah ditetapkan berdasarkan dalil yang menguatkan hukum asal tersebut. [20] Silakan disimak kembali seri pertama dari serial ini di tautan ini.

Kedua: kerusakan yang ditimbulkan karena melakukan perkara -yang secara lahir tampaknya boleh- tersebut haruslah selevel dengan tingkat maslahat yang ditimbulkan atau lebih darinya. [21] Jika kondisinya demikian, maka dzari’ah tersebut dicegah (dilarang). Hal ini karena tujuan syariat adalah untuk mewujudkan dan memperbanyak maslahat, dan menghilangkan atau meminimalisir terjadinya mafsadah (kerusakan). [22]

Termasuk dalam penerapan rambu-rambu ini adalah larangan Allah Ta’ala untuk mencela sesembahan orang-orang kafir di depan mereka langsung, meskipun diakui ada maslahat dari perbuatan tersebut. Akan tetapi, terdapat mafsadah yang lebih besar dari maslahat tersebut, yaitu orang-orang kafir itu akan membalas dengan mencela Allah Ta’ala. [23] Adapun jika maslahat yang ditimbulkan itu lebih besar daripada mafsadah yang muncul, maka dzari’ah tersebut tidak dilarang. Hal ini karena dalam kondisi seperti ini, maslahat itu lebih didahulukan untuk direalisasikan. [24]

Ketiga: untuk menerapkan kaidah saddu adz-dzari’ah tidak dipersyaratkan harus ada maksud (niat) dari orang yang melakukannya untuk menuju kerusakan. Akan tetapi, cukuplah bahwa secara adat kebiasaan masyarakat, mayoritas orang yang melakukan dzari’ah tersebut memang bermaksud untuk itu. Hal ini karena niat (maksud) itu letaknya di dalam hati, sehingga sebagian besar sulit atau tidak bisa dinilai (diukur) dalam diri setiap orang. Oleh karena itu, dzari’ah tersebut dilarang, meskipun bisa jadi dia bermaksud lain. [25]

Keempat: dzari’ah yang dilarang karena penerapan kaidah ini hukumya menjadi mubah (boleh) jika ada hajat (kebutuhan) yang mendorong untuk melakukannya. [26] Misalnya, dokter atau orang yang hendak melamar wanita, diperbolehkan untuk melihat wanita ajnabiyah (wanita yang bukan mahram) tersebut. Perkara tersebut diperbolehkan jika aman atau berusaha menjaga diri dari kerusakan yang mungkin timbul. [27]

Contoh penerapan kaidah as-saddu adz-dzari’ah dalam konteks akad muamalah kontemporer

Di antara contoh muamalah yang dilarang karena alasan “as-saddu adz-dzari’ah”  dalam transaksi keuangan kontemporer adalah pendapat yang mengharamkan perdagangan saham secara tunai dan tunda (nasi’ah), karena khawatir bank (lembaga keuangan) menggunakan transaksi ini sebagai jalan terselubung untuk memberikan pembiayaan dengan bunga, dengan kedok akad jual beli antara pihak pemberi modal dan pemohon pembiayaan.

Pihak pertama menjual saham kepada pihak kedua dengan harga tunda yang lebih tinggi dari harga pasar, lalu pihak kedua segera menjualnya kembali di pasar (kepada orang lain) secara tunai untuk mendapatkan dana segar (secara tunai). Dilihat dari sisi ini, meskipun transaksi tersebut tampaknya mubah (boleh), namun jika didominasi oleh prasangka bahwa sarana itu digunakan untuk tujuan yang haram, maka ia berubah menjadi haram karena sarana tersebut digunakan untuk tujuan yang diharamkan.

Hal ini karena lembaga perbankan konvensional menjalankan fungsi dasarnya sebagai perantara keuangan riba, dan sering kali memanfaatkan transaksi pembiayaan dengan bunga, baik secara eksplisit maupun terselubung. Maka, kuatnya dugaan bahwa bank memanfaatkan bentuk transaksi tersebut untuk tujuan riba membuat transaksi ini dilarang.

Jika akad jual beli ini hanyalah kedok untuk pembiayaan berbunga, maka tidak sah secara syar’i, karena menggunakan bentuk transaksi syar’i untuk menutupi transaksi riba. Oleh karena itu, penggunaan perusahaan sebagai perantara dalam transaksi tersebut tidak mengubah hakikat hukumnya. Penjelasan yang disampaikan oleh perusahaan bahwa transaksi ini sesuai dengan sistem hukum Arab Saudi dalam hal jual beli saham dan jual beli saham secara bertempo (tunda) tidak mengubah kenyataan substansialnya. [28]

Penutup

Setelah membahas secara umum pokok-pokok kaidah yang mencakup semua masalah dalam bab muamalah, maka aku (Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Mushlih) tegaskan kembali pentingnya peletakan dasar-dasar kaidah ini. Sesungguhnya dibutuhkan perhatian yang serius dari para pengajar dan pelajar dalam mempelajari dan memahami kaidah-kaidah ini. Bidang ini masih terbuka luas bagi penambahan penulisan dan pembahasan ilmiah, baik secara teoritis maupun dalam tataran praktis.

Siapa pun yang masuk dalam ilmu fikih muamalah -baik melalui kitab-kitab fikih klasik atau karya-karya dan kajian kontemporer- tanpa menguasai kaidah-kaidah pokok (dasar) ini, maka keadaannya seperti orang yang menyelam ke dalam lautan tapi tidak pandai berenang. Apa yang terkandung dalam lembaran-lembaran kitab kecil ini hanyalah sekadar pembahasan ringan seputar pokok-pokok kaidah dalam bab ini. Aku memohon kepada Allah agar menjadikannya bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.

[Selesai]

Kembali ke bagian 6

***

@Unayzah, KSA; 26 Zulkaidah 1446/ 24 Mei 2025

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Lihat Mu’jam Al-Maqayis fil Lughah, hal. 477; Lisanul ‘Arab, 3: 206; Al-Qamus Al-Muhith, hal. 367; Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 422.

[2] Lihat Lisanul ‘Arab, 8: 96; Al-Qamus Al-Muhith, hal. 926.

[3] Ahkaamul Qur’an, 2: 787.

[4] Muhtashar At-Tahrir, hal. 74.

[5] Irsyadul Fukhul, hal. 246.

[6] Lihat Al-Furuq lil Qarafi, 2: 32; Al-Fatawa Al-Kubra li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyyah, 4: 17; I’lamul Muwaqi’in, 3: 147; Syarh Al-Kaukab Al-Munir, 4: 434.

[7] Ijma’ ini dinukil oleh Al-Qarafi dalam Al-Furuq, 3: 266, 2: 32; Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in, 3: 148; Asy-Syathibi dalam Al-Muwafaqat, 2: 390.

[8] Lihat Al-Furuq lil Qarafi, 2: 32; I’lamul Muwaqi’in, 3: 148; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 2: 390; Tahdzhibul Furuq, 3: 374.

Perhatian:

Para ulama mazhab Syafi’iyah mengingkari perkara ini sebagai bagian dari kaidah saddu adz-dzari’ah. Al-‘Athar rahimahullah berkata dalam hasyiyah-nya terhadap kitab Jam’ul Jawami’ (2: 399),

ليس من مسمى سد الذرائع في شيئ

“Masalah ini tidak termasuk dalam istilah as-saddu adz-dzar’ah sama sekali.”

Beliau juga berkata,

وما هذا من سد الذرائع في شيئ

“Masalah ini tidak termasuk dalam istilah as-saddu adz-dzar’ah sama sekali.”

Menurut Syafi’iyah, masalah ini termasuk dalam bab “larangan sarana” (تحريم الوسائل). Asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam Irsyadul Fukhul (hal. 246),

ليس من هذا الباب، بل من باب ما لا خلاص من الحرام إلا باجتنابه، ففعله حرام من باب ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب

“Bukan termasuk dalam bab ini, tetapi termasuk dalam bab bahwa tidak ada jalan selamat dari yang haram kecuali dengan meninggalkannya. Maka, perbuatan itu menjadi haram dari sudut pandang bahwa suatu kewajiban tidak akan sempurna kecuali dengannya, maka ia pun menjadi wajib (baca: sarana menuju perkara yang wajib, hukumnya juga wajib).”

[9] Ijma’ ini dinukil oleh Al-Qarafi dalam Al-Furuq, 3: 266, 2: 32; Ibnul Qayyim dalam I’lamul Muwaqi’in, 3: 148; Asy-Syathibi dalam Al-Muwafaqat, 2: 390.

[10] Lihat Al-Furuq lil Qarafi, 3: 266; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 2: 348-349.

[11] Lihat Ihkamul Fushul fi Ahkam Al-Ushul li Al-Baaji, hal. 689; Al-Furuq lil Qarafi, 2: 32.

[12] Lihat Muhtashar At-Tahrir, hal. 74.

[13] Lihat Ihkamul Fushul fi Ahkam Al-Ushul li Al-Baaji, hal. 690; Ushul Fiqh li Abu Zuhrah, hal. 268.

Perhatian:

Ulama Hanafiyah tidak menyebutkan kaidah ini dari berbagai kitab mereka yang aku (Syekh Dr. Khalid bin Abdullah Al-Mushlih) telaah. Namun, Al-Burhani -penulis kitab Saddu Adz-Dzara’i fi Asy-Syari’atil Islamiyyah- berpendapat bahwa Hanafiyah mempertimbangkan dan menerapkan kaidah as-saddu adz-dzari’ah. Beliau kemudian menguatkan pernyataannya dengan menyebutkan berbagai masalah-masalah fikih yang secara lahiriah menunjukkan bahwa ulama Hanafiyah menerapkan kaidah ini. Bisa dilihat pada halaman 651-657.

[14] Lihat Al-Umm li Asy-Syafi’i, 3: 74; Hasyiyah Al-‘Athar ‘ala Jam’il Jawami’, 2: 399.

[15] Lihat Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam li Ibni Hazm, 6: 746.

[16] I’lamul Muwaqi’in, 3: 171.

[17] Lihat Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 4: 200; Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqhi, hal. 249; Atsar Al-Adillah Al-Mukhtalaf Fiiha fi Al-Fiqh Al-Islamiy, hal. 586-592.

[18] Lihat Al-Furuq lil Qarafi, 2: 33; Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh, hal. 250.

[19] Lihat Ighatsatul Lahfan, 1: 381.

[20] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 29: 228; I’lamul Muwaqi’in, 3: 148; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 2: 348-349.

[21] Lihat Al-Furuq lil Qarafi, 3: 33; Majmu’ Al-Fatawa, 32: 288; I’lamul Muwaqi’in, 3: 148.

[22] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 24: 278-279, 30: 234.

[23] Lihat I’lamul Muwaqi’in, 3: 148; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 3: 360, 4: 200.

[24] Lihat Qa’idah Jalilah fi At-Tawassul wal Wasilah, hal. 31; Majmu’ Al-Fatawa, 15: 419; Raudhatul Muhibbin, hal. 109.

[25] Lihat I’lamul Muwaqi’in, 3: 148; Ighatstul Lahfan, 1: 376; Al-Muwafaqat li Asy-Syathibi, 2: 361.

[26] Lihat I’lamul Muwaqi’in, 2: 142; Raudhatul Muhibbin, hal. 112.

[27] Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 15: 419, 21: 251.

[28] Lihat Mausu’ah Fatawa Al-Mu’amalah Al-Maliyah, 9: 350-351.


Artikel asli: https://muslim.or.id/105956-prinsip-prinsip-memahami-halal-haram-dalam-transaksi-muamalah-bag-7.html